Kisah
ini saya dapatkan di buku “German Fighter Ace Hans-Joachim Marseille:
The Life Story of the Star of Africa” karya Franz Kurowski, dan begitu
menariknya sehingga sayang kalau tidak dicantumkan dalam blog ini.
Inilah dia:
Tanggal
21 April 1941 Gruppenkomandeur dari I./Jagdgeschwader 27, Hauptmann
Eduard “Edu” Neumann tiba di Gazala, Libya, setelah ditugaskan untuk
membantu pasukan Afrikakorps-nya Rommel dalam melawan Sekutu. Tak lama
setelah dia, tiba pula 2/JG 27. Tapi dimanakah Staffel 3 pimpinan
Oberleutnant Gerhard Homuth?
Unit
ini telah melakukan pendaratan sementara di pangkalan 7/JG 26 pimpinan
Oberleutnant Joachim Müncheberg di Gela, Sisilia. Dari sana mereka
melanjutkan penerbangannya melintasi lautan Mediterania dengan tujuan
Castel Benito. Mereka akhirnya mencapai landasan yang dituju, tapi
sesaat sebelum pesawat-pesawat 3/JG 27 menyentuh daratan di “Landasan
Kalajengking” (dimana seharusnya mereka telah ditunggu oleh tim pengisi
bensin yang akan mengisi bahan-bakar untuk pesawat mereka), mereka
menyadari bahwa tempat itu tampaknya tidak ditinggali oleh siapapun.
Bahkan tembakan senapan mesin yang ditembakkan pesawat ke tanah di dekat
beberapa tenda yang terdapat disana tidak juga “mengundang” orang-orang
untuk keluar! Karena bahan-bakar sudah menipis, mau tidak mau staffel
Homuth mendarat juga, dan memang landasan itu sudah kosong melompong
tanpa ada jejak awak darat satu pun. Seorang pilot harus dikirim balik
ke Sirte untuk meminta pertolongan!
Oberleutnant
Homuth memilih Oberfähnrich Hans-Joachim Marseille (yang saat itu belum
terkenal dan masih menjadi pilot tempur ‘biasa’). Sementara tujuh pilot
lainnya beristirahat sambil menunggu di tenda-tenda yang sama sekali
tidak nyaman untuk ditinggali, Marseille pun pergi.
Ketika
sampai fajar keesokan harinya masih tidak terdapat tanda-tanda
kehidupan, tujuh Messerschmitt Bf 109 dari 3/JG 27 memutuskan untuk
kembali ke En Nofilia yang letaknya di arah barat sejauh 35 kilometer
dari situ. Dari sini Oberfeldwebel Kowalski dikirimkan ke Sirte dengan
membawa sedikit cadangan bahan-bakar yang masih tersisa.
Tak
lama selepas siang, sebuah pesawat bermesin ganda tiba dan menjatuhkan
sebuah kapsul pesan. Kapsul ini langsung dibawa ke Oberleutnant Homuth.
Di dalamnya berisi berita bahwa Oberfeldwebel Kowalski telah melakukan
pendaratan darurat sesaat sebelum tiba di Sirte karena pesawatnya sudah
kehabisan bahan-bakar. Catatan ini juga menyebutkan bahwa Marseille dan
pesawatnya sama-sama mendarat darurat di jalan yang menuju kesana karena
masalah pada mesin.
Beberapa
jam kemudian Marseille tiba dengan menumpang sebuah truk kargo yang
membawa kontainer berisi air dan persediaan suplai lainnya. Dia melapor
kepada sang Staffelkapitän bahwa sebentar lagi truk bahan bakar akan
menyusul tiba.
Ketika
truk yang dinanti-nanti akhirnya tiba, semua pesawat diisi bahan-bakar
dari container truk dengan menggunakan pompa tangan. Tak lama kemudian
semua pesawat berangkat menuju ke tempat tujuan mereka yang terakhir.
Tapi tanpa Marseille. Ketika dia bertanya apa yang harus dia lakukan,
Homuth menjawabnya:
“Kamu telah merusakkan pesawatmu, sekarang cari cara sendiri agar bisa menuju ke front.”
Staffel 3 tiba di Gazala pada tengah hari tanggal 22 April 1941. Tapi apa yang terjadi pada tokoh kita Marseille?
Seperti
telah disebutkan sebelumnya, Oberfähnrich Marseille telah ditugaskan
untuk menuju Sirte. Dia menerbangkan sebuah pesawat Messerschmitt Bf 109
dengan nomor “13” dalam warna kuning dicat di pinggirannya – nomor yang
tidak menjadi masalah bagi Marseille… setidaknya pada awalnya.
Tiba-tiba
dia menyadari bahwa tekanan oli pesawatnya menurun dengan drastis.
Jarum RPM jatuh dan BF 109 pun mulai kehilangan ketinggian. Pesawat ini
tampaknya semacam “pemakan mesin” yang mendatangkan masalah tak
henti-hentinya. Mesinnya batuk-batuk dan ‘meludah’, sementara asap kini
memenuhi kokpit. Marseille mendorong joystick ke bawah dan merapatkan
ikatan parasutnya. Daratan pasir yang gersang mulai datang menyambutnya.
Beberapa belas meter dari tanah dan Marseille memotong katup penutup
sambil mematikan tombol starter. Ini adalah cara yang diketahui semua
pilot demi memperbesar peluang selamat dari situasi semacam ini. Mesin
pun mati.
Sepuluh
meter sebelum pesawat menyentuh tanah. Daratannya sendiri tidak cocok
untuk dijadikan tempat mendarat, tapi kemudian Marseille melihat di
sebelahnya terdapat tanah datar yang sempit. Tak cukup untuk pendaratan
yang normal sebenarnya. Lima meter lagi, dan kemudian terjadi getaran
hebat. Lapisan besi yang menempel di pesawat seakan mengerang dan
berderak dengan kuat saat bertemu dengan batu-batu dan kerikil.
Hidung
Bf 109 seakan membentuk gelombang saat pesawat meloncat-loncat kecil
sebelum akhirnya melambat, berguncang sekali lagi, dan diam. Pesawat
Marseille kini terselibungi debu tebal.
Jochen
Marseille membuka kanopi dan melepaskan sabuknya. Dia merangkak keluar
dari pesawatnya, berhenti untuk beberapa saat di bagian sayap, dan
kemudian loncat ke darat. Kakinya tenggelam dalam tanah lunak yang
berpasir.
Dia
kini telah mendarat di daratan Afrika… walaupun secara darurat. Dia
lalu berjalan ke salah satu kelompok rerumputan tinggi yang banyak
bertebaran secara sporadis di sekitar jalan.
Mesin
pesawatnya masih batuk-batuk. Marseille tidak mempedulikannya. Ia duduk
di balik bayangan rerumputan, mengeluarkan rokoknya dan menyalakannya.
Meskipun ini bukanlah sesuatu yang diinginkannya, tapi yang jelas satu
pesawat lagi telah dirusakkannya. Setelah “prestasi” empat pendaratan
darurat di masa sebelumnya, maka ini adalah yang keempat! Kali ini dia
merasa bahwa dia tidak akan lolos begitu saja, terutama sejak dia tahu
bahwa sang Staffelkapitän akan melihatnya murni sebagai kesalahan
Marseille. Setelah dia menyelesaikan sebatang rokok, Marseille kembali
ke pesawatnya, melepaskan parasut, mengambil barang-barang yang paling
berharga (termasuk logbook), dan kemudian melangkah menyusuri jalan.
Beruntung bagi
dia, karena tak lama datang sebuah truk kargo Italia dengan tujuan
Sirte yang kemudian berhenti di depannya. Sang supir menyeringai ramah
lalu memberi isyarat dengan tangan untuk duduk di sebelahnya. Ketika
Marseille masuk, ia langsung ‘disergap’ oleh suhu panas yang menyiksa.
Setelah tiba di Sirte, Marseille menerangkan dengan bahasa Tarzan bahwa
dia harus pergi ke Kommandeur yang berkepentingan dan minta diantar
kesana. Beberapa menit kemudian dia telah berdiri di depan markas korps
intendan dan melapor bahwa Staffelnya sedang dalam perjalanan ke
Benghazi ketika mereka mendarat di lapangan terbang Kalajengking tanpa
mendapati tim bahan-bakar yang seharusnya ada disana. Sekarang mereka
sangat membutuhkan bensin untuk pesawat-pesawat mereka.
“Anda
dapat mendapatkan bahan-bakar tersebut, hanya saja truk tangkinya
sekarang sedang diisi dulu. Tunggu saja sebentar,” jawab sang intendan.
Sebelum
truknya berangkat, Oberfeldwebel Kowalski tiba di Sirte dan melaporkan
bahwa Staffel 3 telah melanjutkan perjalanan ke En Nofilia sehingga
semua perbekalan harus dibawa kesana. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, Kowalski pun harus melakukan pendaratan darurat seperti
halnya Marseille.
Marseille
akhirnya berangkat dengan truk pertama yang membawa air minum serta
perbekalan, sementara Kowalski mengikuti di belakangnya dengan truk
kedua yang membawa bahan-bakar.
Kini
setelah Homuth memerintahkan Marseille untuk berangkat tanpa pesawat,
dia terpaksa ditinggalkan di En Nofilia, sementara staffel-nya berangkat
ke Gazala – yang akhirnya mereka capai tanggal 22 April 1941 setelah
sebelumnya sekali lagi melakukan pendaratan sementara. Sementara itu,
Marseille mendapat kabar bahwa sebuah konvoy transport Italia akan
melintasi jalan di hadapannya dalam waktu satu jam. Dia langsung
mengemasi barang bawaannya, berangkat menuju jalan sambil bersiap diri
terhadap apa pun yang akan terjadi. Ketika akhirnya debu mulai Nampak
dan konvoy itu tiba, Marseille mendapati bahwa itu memang orang-orang
Italia.
Kendaraan
pertama menepi ke pinggir dan berhenti. Sebelum Marseille ngoceh
kembali dengan bahasa Tarzannya, sang supir yang berbadan kecil turun
dari belakang kemudi, mengambil tas Marseille dan melemparkannya ke
truk. Marseille pun akhirnya naik dan mendapati dengan gembira bahwa
sang supir adalah seorang Letnan muda Italia yang sedikit-sedikit bisa
berbahasa Jerman, walaupun acak-acakan. Tapi ini setidaknya cukup untuk
mereka berdua agar bisa mengerti satu sama lain.
Ketika
Marseille bertanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai
ke Gazala karena dia diharapkan kedatangannya besok siang, si Italia
langsung tertawa terbahak-bahak!
“Doppo domani – satu hari setelah besok (lusa),” katanya. “Paling cepat.”
“Tapi aku harus ada di Gazala besok!”
Pada
titik ini bahkan si supir menggerakkan lengannya dengan ragu-ragu, yang
memberi pesan kepada Marseille bahwa si pilot Jerman dengan Eisernes
Kreuz di jaketnya itu meminta sesuatu yang mustahil.
Setelah
waktu maghrib tiba, Marseille melihat sebuah pemandangan yang luar
biasa, yang semakin jelas seiring dengan lajunya kendaraan. Dia menoleh
kepada teman seperjalanannya, dengan mimik yang meminta penjelasan. Si
supir mengerti. Dia berkata:
“Arco Philaenorum – Gerbang Kemenangan!”
“Ora
ngerti wadon bae, maksudnya? Tanya si Jerman, yang terkejut bahwa di
tengah padang pasir tandus yang jauh dari mana-mana seperti disini,
terdapat sebuah bangunan monumen yang fenomenal seperti yang tampak di
hadapannya! Marseille kemudian sedikit demi sedikit mengerti apa yang
dikatakan si supir Italia:
“Kami
menyebutnya Arco dei Fileni, yang merupakan peringatan bagi Fileni
bersaudara, yang gambarnya bisa anda lihat di bagian atap monumen persis
di atas lengkungan. Monumen ini didirikan untuk mengenang mereka.
Orang-orang Kartago telah membangun sebuah pelabuhan di dekat kota masa
Yunani klasik bernama Antomala – sekarang dinamakan Mugtáa el Chebrit.
Perang yang panjang dan berdarah-darah antara Yunani dan Kartago
kemudian terjadi karena kedua pihak memperebutkan pelabuhan yang
strategis ini. Hanya di sekitar tahun 350 sebelum masehi, Yunani dan
Kartago mencapai suatu persetujuan.”
“Kartago
dan Cirene diharuskan mengirim dua orang pelari masing-masing.
Perbatasan antara kedua negara adalah tempat dimana kedua pasang pelari
tersebut bertemu.”
“Sebagai
pelari dari pihaknya, Kartago memilih Fileni bersaudara, yang terkenal
sebagai olahragawan terpandang di masa itu. Tapi Cirene juga telah
memilih pelarinya yang terbaik. Sayangnya, pelari dari Cirene terhadang
oleh badai dan hujan di tengah perjalanan, sehingga pelari Kartago mampu
melewati perbatasan lama dan akhirnya bertemu dengan pelari Cirene di
tempat ini, yang kemudian menjadi perbatasan baru.”
“Sebagai
pihak yang kalah, Cirene mengatakan kepada Kartago bahwa mereka akan
mengakui perbatasan baru hanya bila kedua Fileni bersaudara bersedia
untuk dikuburkan hidup-hidup! Ini tentu saja membuat berang pihak
Kartago. Tapi dahsyatnya, Fileni bersaudara mengatakan bahwa mereka
bersedia untuk melakukannya. Mereka akhirnya dikorbankan demi
mempertahankan perbatasan baru ini, dan disinilah mereka dikuburkan, di
tempat dimana sekarang berdiri Arco Philaenorum – atau Arco dei Fileni
untuk orang-orang Italia. Tempat ini akhirnya menjadi perbatasan abadi
antara Kartago dan Cirene yang bertahan sepanjang masa.”
Jochen Marseille mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah sang Tenente menyelesaikan ceritanya, Marseille nyeletuk:
“Tapi gerbang ini tampak seperti baru dibuat!”
“Kamu
benar,” jawab si Letnan. “Marsekal Udara (Italo) Balbo telah
memerintahkan pembangunan gerbang ini, tepat di tempat dimana Fileni
bersaudara dikuburkan. Gerbang ini sekarang memisahkan antara
Tripolitania dengan Cyrenaica.”
Ketika
mereka mencapai salah satu lapangan udara di sepanjang Via Balbia, hari
telah beranjak malam. Marseille mengucapkan selamat tinggal kepada
kamerad Italianya, lalu membawa barang bawaan sambil berjalan ke tempat
operasi udara. Disana dia tahu dari Feldwebel yang sedang bertugas bahwa
dia tidak bisa terbang ke Derna esok hari.
“Aku
tidak mendapat perintah untuk terbang kesana. Aku khawatir anda bisa
nyungseb disini berhari-hari, temanku. Hal terbaik yang bisa dilakukan
adalah dengan nebeng di truk kargo.”
“Bila aku melakukannya, aku baru bisa tiba di Gazala lusa. Aku harus berada disana esok siang.”
“Mungkin
anda bisa mendapatkan mobil untuk keperluan anda,” tawar sang
Feldwebel. “Coba cari di tempat perbekalan dan tanyakan kepada perwira
yang sedang bertugas.” Marseille langsung mengambil tasnya dan berjalan
melintasi rerongsokan yang terdapat di sekitar landasan kearah yang
ditunjukkan oleh si Feldwebel.
Keadaan
telah begitu gelapnya, tapi seorang penjaga menunjukkan tenda yang dia
tuju. Marseille masuk, dan setelah basa-basi sebentar sambil
memperlihatkan kartu identitasnya, dia meminta sebuah mobil yang akan
digunakannya untuk melakukan perjalanan ke Derna.
“Saya adalah pemimpin Schwarm dan besok saya harus tinggal landas dari Gazala,” dia berkata dengan terburu-buru.
“Saya
mengerti,” kata si Hauptmann yang sedang bertugas jaga. Dia adalah
orang tua baik hati yang tampaknya adalah seorang veteran Perang Dunia
I, yang tampak dari kedua Eisernes Kreuz Spange yang menempel di
seragamnya. “Tapi saya tak dapat menolongmu dalam masalah ini. Mungkin
jenderal akan berbaik hati meminjamkan mobilnya.”
Seringai
lebar yang tampak dari wajah si Hauptmann menyiratkan bahwa dia Cuma
bercanda. Tapi Marseille kemudian memintanya untuk mempertemukannya
dengan jenderal dimaksud!
10
menit kemudian Oberfähnrich Marseille melaporkan diri pada jenderal
Hellmann dan menceritakan tentang kesialannya. Sebagai penutup, dia
mengatakan, “Saya harus pulang kembali ke Staffel saya besok. Bila saya
tidak kembali maka Schwarm saya tak bisa tinggal landas.” Schwarm yang
dia pimpin terdiri dari dua Rotten dengan dua pesawat masing-masing.
Disinilah
terjadi sesuatu yang tidak biasa, seperti yang kadang terjadi di tempat
lain dan di waktu yang lain. Bukannya kemudian memperlihatkan kepada
sang Oberfähnrich yang congkak dan tidak sabaran ini letak pintu keluar,
Jenderal Hellmann malah tampaknya terpesona dan gembira bisa bertemu
dengan seorang perwira rendah muda yang berani seperti Marseille.
Matanya tidak luput dari melihat medali Eisernes Kreuz I klasse yang
menempel di saku Marseille, yang membuktikan bahwa pilot satu ini
mempunyai skill yang cukup bisa diandalkan.
“Kalau
begitu, terlebih dahulu ceritakan sebentar pengalamanmu selama di
Channel,” sang jenderal meminta Oberfähnrich Marseille untuk duduk.
Dengan
senang hati Marseille menuruti permintaan sang jenderal. Dia
menceritakan tentang kemenangan-kemenangan udara yang telah
dibukukannya, juga tentang bagaimana tiga kali pesawatnya hampir
nyuksruk ke laut, dan satu kali benar-benar melakukannya. Ketika
ceritanya berakhir, sang jenderal mengangguk. “Kamu akan mendapat mobil
yang kamu minta. Tapi pertama-tama kamu harus ikut makan malam
denganku.” Dia lalu memanggil si Hauptmann yang tadi dan menanyakan
mobil yang mana yang siap dikendarai. Dua buah Volkswagen dan mobil
pribadi si jenderal sendiri yang dinamakan “Admiral” tersedia saat itu.
Jenderal
Hellmann kembali mengarahkan omongannya pada Marseille. “Besok subuh
saat matahari mulai nampak kau dapat pergi menggunakan mobilku. Atau
mungkin kau ingin berangkat sekarang? Saat ini bulan sedang bersinar
penuh, dan setelah pukul 11 malam maka keadaan akan cukup terang,
hampir-hampir seperti siang.”
“Bila mungkin, saya ingin berangkat saat ini juga, Herr Jenderal,” jawab Marseille.
“Baiklah kalau begitu! Bawa mobilnya kesini, dan lihat apakah bensinnya sudah diisi,” perintah Hellmann kepada si Hauptmann.
“Dan
kau, Marseille. Aku tidak meminjamkan mobil ini secara cuma-Cuma.
Sekarang kamu harus membukukan 50 kemenangan lagi untuk membalas
kebaikan yang kuberikan kepadamu. Aku harap dapat mendengar kabar darimu
dalam masalah ini, semoga dalam waktu yang tidak lama lagi.”
“Jawohl, Herr General!” Jawab Marseille dengan lega.
Tak
lama setelah menaiki mobil lux kepunyaan sang jenderal, Marseille dan
supir pribadi Hellmann langsung melesat melintasi jalan beraspal Via
Balbia kearah tujuan mereka. Si supir adalah Unteroffizier Schultze yang
juga berasal dari Berlin seperti halnya Marseille, dan tak lama suatu
ikatan timbul di antara kedua orang muda ini.
Sepanjang
perjalanan, Schultze ngoceh tentang bagaimana dinginnya cuaca di Afrika
saat minggu-minggu pertama dia tiba disini, tentang Rommel dan Major
Irnfried von Wechmar, yang memimpin sebuah Aufklärungsabteilung (AA 3)
dan sekarang dipanggil semua orang dengan julukan “Lord of the Tarmac”.
Dia bercerita tentang pengalaman mengalami serangan badai pasir pertama,
tentang lalat yang minta ampun banyaknya, tentang kopi asin dan hal-hal
lainnya. Sebagai penutup, dia mengatakan:
“Kamu
dan teman-temanmu yang terbang di angkasa tampaknya bernasib lebih baik
dibandingkan dengan kami. Selalu bernafas di tengah udara yang segar
dan jauh dari debu dan kotoran.”
“Ya, memang benar. Tapi seringkali udara dipenuhi dengan lapisan timah,” jawab Jochen.
“Hahahaha… benul eh betul! Makanya aku lebih senang disini, nempel di atas tanah dengan mobilku.”
Agedabia
telah terlewati lama sebelumnya. Beberapa rumah terlintasi, baik di
kiri maupun di kanan. Sekali mereka sempat tersesat setelah mengikuti
jejak sebuah konvoy yang kemudian menghilang. Untungnya Schultze
kemudian menyadari kesalahannya dan kembali ke jalur yang benar. Mereka
berbalik dan tiba di Benghazi tanggal 22 April 1941 jam 2 pagi. Jalan
yang ada di kota ini bagaikan jalan-jalan indah di Eropa, dengan pohon
berjajar di sepanjang boulevard. Tapi sang Unteroffizier tidak dapat
menikmati keindahan ini karena sekarang dia tertidur pulas, dan Jochen
Marseille yang gantian berada di belakang kemudi.
Di
wilayah Tocra, Littoranea (bahasa Italia untuk menyebut jalanan pinggir
pantai) mulai menanjak dan mengarahkan mereka ke bagian pinggiran
Djebel Achcar. Unteroffizier Schultze kembali menjadi supir karena dia
sudah biasa dengan jalanan sulit seperti ini. Bagaimana dengan
Marseille? Kini bagian dia yang molor!
Ketika
si Oberfähnrich terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Jalan
pinggir pantai kini menembus bukit-bukit kapur. Mereka melintasi
pemandangan yang menawarkan keindahan liar yang romantis, melintasi
desa-desa yang dihuni oleh pemukim-pemukim Italia dengan rumah mereka
yang dihiasi pohon-pohon tropis dan tanaman lainnya. Disinilah tempat
perkebunan Cyrenaica – yang berkembang melalui proyek-proyek irigasi
Italia: Gasr el Elua, Sidi Agd el Uahed, Zauia el Beda dan Beda
Littoria. Dekat Luigi Raza mereka melintasi sebuah hutan kecil yang
ditumbuhi pohon-pohon ek. Kebanyakan pemukiman disini sudah ditinggalkan
oleh penghuninya, orang-orang Italia yang mengungsi bersama dengan
keluarganya saat Inggris mendesak pasukan Mussolini bulan Desember 1940,
hampir satu tahun sebelumnya.
Ketika
mereka mencapai lapangan udara Derna, hari telah beranjak siang. Disini
mereka berhenti sebentar untuk mengisi bahan baker. Marseille juga
menggunakan waktunya untuk mengambil gajinya dari petugas pembayaran di
landasan.
Ketika
si petugas bersiap untuk menambahkan catatan baru di buku pembayaran
Marseille, dia membukanya di halaman yang terdapat catatan
penganugerahan Eisernes Kreuz. “Tolong, jangan di halaman itu,” pinta
sang Oberfähnrich kepada petugas pembayaran.
“Apakah kamu pikir kamu dapat mendapat lebih dari Eisernes Kreuz yang ada disini?” dia bertanya.
“Tentu saja,” Marseille menjawab. Si petugas pembayaran nurut dan menuliskan catatan pembayaran di halaman lainnya.
Mereka
kini berangkat menuju dataran tinggi Cyrenaica, yang ditandai dengan
jalan berkelok-kelok bagaikan ular yang seakan tidak berakhir dan
dipenuhi oleh debu tebal, yang mengarah ke Celah Halfaya. Di kiri kanan
jalan, mereka menjumpai sisa-sisa kendaraan perang, tank dan truk, yang
teronggok dan merupakan sisa dari pertempuran yang terjadi tak lama
sebelumnya. Beberapa di antaranya telah dijatuhkan ke jurang atau
selokan oleh petugas pembersihan demi menjaga jalan tetap bisa
dilintasi.
Petugas
yang sama kini terlihat sedang memperbaiki jalan, dan menambal
lubang-lubang bekas ledakan. Ketika mereka mencapai salah satu belokan
dan dapat melayangkan pandangan ke Derna, mereka melihat 12 buah Junkers
Ju 87 dari StG 3 baru saja tinggal landas untuk melaksanakan misi
tempur. Dengan meninggalkan 12 buah kabut berwarna kuning
kemerah-merahan di belakangnya, mereka terbang ke udara dan menghilang
dari pandangan Marseille.
“Mereka
berangkat ke Tobruk. Rommel menginginkan benteng kokoh ini bagaimanapun
caranya, karena dia merupakan titik penting seluruh front,” jelas
Unteroffizier Schultze.
Jam
telah menunjukkan pukul 17.00 ketika Marseille akhirnya tiba di
lapangan udara Gazala dan memarkirkan mobil “Admiral” kepunyaan jenderal
Hellmann di depan markas Staffelnya. Dia meninggalkan Unteroffizier
Schultze dan melapor kepada Oberleutnant Homuth.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar