Jumat, 24 Oktober 2014

Cerita Cinta (Iseng-iseng aja sih)

Nama anggota kelompok :
a.       Imam Renaldi
b.      Aldi Eka Gunawan
c.       Tedy Yuliandra
d.      Dwiki Ramadhan Purba
e.      Dimas Apriyanto
f.        Angga Kristian
g.       Shely
h.      Sela
i.         Santoso Riadi
j.        Muhammad Haikal

Sinopsis

                Sela, Shely, dan kiki adalah 3 remaja yang bersahabat sejak kecil. Pada suatu kesempatan shely mengutarakan kegundahan hatinya kepada sahabat-sahabatnya karena terlalu lama menjomblo alias tidak punya pacar(ternyata itu bohong). Sela dan kiki pun berniat menjodohkan shely, sahabat mereka kepada Tedi. Cowok kalem dan baik yang merupakan teman dari sela dan kiki. Pertemuan pun terjadi antara shely dan tedi atas usaha sela dan kiki. Awalnya biasa hingga tanpa diduga tedi jatuh cinta kepada Shely. Semakin hari hubungan mereka semakin dekat saja.
                Rasa cinta yang tak tertahankan membawa keberanian Tedi mencapai puncaknya. Ya.. dia memutuskan untuk mengungkapkannya kepada Shely. Tapi disaat Tedi hendak mengutarakan perasaannya kepada shely, sebuah rahasia besar terungkap disaat itu juga. Shely tidak sendiri. Tidak jomblo. Tanpa sepengetahuan Tedi dan kedua sahabatnya, Shely telah menjalin cinta dengan Imam, cowok yang dikenalnya sebulan sebelum bertemu dengan Tedi. Hancur sudah bunga cinta Tedi yang baru saja hendak merekah. Tedi berlalu dengan perasaan yang remuk redam. Tedi tiba-tiba berubah menjadi murung. Kehilangan semangat hidup dan gairah.  Hingga akhirnya tedi ketemu Angga yang memberi nasehat-nasehat hingga ia pun bisa menerima kenyataan.



Adegan 1

Sela , Shely dan kiki sedang nongkrong bareng.
Shely: Guys, gue bosen nih begini terus.
Sela: maksud lo?
Shely: lo bisa gak bantu gue. Cariin gue pacar dong.
Kiki: Bukannya lo udah punya imam? Emangnya lo udah putus sama imam?
Shely: udah. Udah lama gue putus sama imam.
Sela: mmmhh.. gimana kalo cwo ini aja (sambil nunjukin foto tedi)
Shely: Siapa dia??
Kiki: itu namanya Tedi. Teman gue. Gimana?
Shely: Biasa aja. (pasang tampang cuek)
Sela: coba aja dulu ketemu sama dia. Kali aja lo berdua nyambung.
          Anaknya baik kok. Gak nyesel deh.
Kiki: iyaa bener shely. Coba aja dulu. Ntar deh gue atur pertemuannya.
Shely: oke okee.. terserah lo berdua aja deh.

Keesokan harinya Sela dan Kiki telah mengatur pertemuan untuk Shely dan Tedi.
Kiki: Hallo Brader..  Lo dimana breader? Udah nyampe blom. (nelpon Tedi)
Tedi: otewe braader. 5 menit lagi gue nyampe ditempat.
 Kiki: okee.
Tedi: okee

Sela,Kiki dan Tedi langsung menemui Shely yang sudah menunggu di tempat yang dijanjikan.
Sela: Hai Shely..
Shely: Hai Sela. (nada datar dan memasang muka masam karena kelamaan menunggu)
Kiki: ini loh yang namanya Tedi. Brader kenalin ini temen gue Shely. Shely ini Tedi.
(Shely dan Tedi berjabat tangan)
Tedi: Tedi..
Shely: Shely
(Diam-diam keduanya merasa tertarik satu sama lain)
Suara Shely memecah keheningan.        
Shely: Lo berdua lama banget sih.
Sela: ya maklum lah shel jakarta, macetnya kan parah.
Kiki: iyaa Shel. Lagian  sekalian nungginTedi juga biar bareng.
(Shely dan Tedi saling curi-curi pandang.) cie.. cie.. cie.. :D
Sela: Ki, kayaknya gue laper deh. Kita beli makanan yuk.
Kiki: ide bagus tuh. Ayukk.. gue juga laper.
Niat Sela dan Kiki berhasil untuk mempertemukan kedua anak manusia yang keliatannya mulai tertarik satu sama lain. Hehehehe....
Dengan kikuk Tedi memulai percakapan.
Tedi: udah lama nunggu nya Shel??
Shely: (masii aja sok cuek) ya masii lah. Udah 2 gelas nih jus gue pesan Cuma nunggu lo doang.
Tedi: jadi lo nungguin gue. (sambil senyum2.)
          Sorry ya udah buat lo nunggu lama. Besok-besok gak lagii deh. :D
Shely: Besok-besok?                                                                                                                                                       
Tedi: iyaa. Kayanya gue bakal sering deh ngajak lo jalan. Itu juga kalo lo mau.
Shely: ntar liat nanti aja deh.
Mereka berdua terdiam. Sumpah kaya orang bisu nih anak berdua.
Lagu cinta dimainkan...
Mereka berdua komat-kamit pertanda mereka berdua tau lagu yang dimainkan. Mungkin juga favorit.
Mereka saling pandang dan tersenyum satu sama lain.
Shely: lo tau lagu ini juga??
Tedi: ya jelaslah gue tau. Ini lagu favorit gue.
Shely:ini juga lagu favorit gue. Romantis banget lagunya.
Tedi: iyaa bener banget.
Shely: ternyata lo cukup romatis orangnya... (gak jaim” lagi nunjukin kalo mereka saling tertarik)
Tedi: hehehe... makasih.
Chemistry mulai terjalin diantara mereka berdua. Hubungan mereka juga semakin deket.
Tedi bener” jatuh cinta kepada Shely. Mungkin Shely juga.
(pengambilan gambar Tedi dan Shely yang sedang jatuh cinta)
Tedi pun berniat mengutarakan perasaannya kepada Shely dan mereka pun bertemu.
Shely: Tedi.. kamu ngapain ngajak aku kesini??
Tedi: ada hal yang harus aku katakan saat ini juga. Ini tidak bisa ditahan lagi.
Shely: apaan Tedi? Jangan buat aku penasaran dong.
Disaat Tedi hendak mengatakan rasa cintanya,  muncullah Imam. Kekasih Shely yang ia rahasiakan dari Tedi.
Imam: Baby.. kamu ngapain Disini??
Shely: aku.. aku.. lagi ketemu sama temen.
Imam. Sayang.. harusnya kamu ngabarin aku dong. Kamu mau kemana sama siapa.
Shely: iyaa.. maaf sayang.
           Oh iyaa.. kenalin ini Tedi, temen aku.
Imam: Imam !!! pacarnya Shely.
Tedi; Tedi !!! temennya Shely. (hancur hatikuu bro.. jerit batin Tedi. L
          Oh iyaa.. gue kayanya ada janji shel sama temen gue. Gue cabut duluan ya.
Shely: (perasaan gak enak) kok buru buru amat Tedi.
Tedi: iyaa.. emang harus buru-buru gue cabut dari sini.
Tedi pergi dengan perasaan yang hancurmengetahui bahwa Shely sudah punya kekasih. Kasiiaaan banget ya Tedi. Cup..cup.. cup.. L
Ditengah kegalauannya.. Tedi berjalan menyusuri pantai berpasir dengan hati yang hancur.
Lantas ia pun bertemu dengan dua berandal.
Haikal: ehh.. lo anak muda. Serahin barang” berharga lo semuanya.
Santoso: iyaa semuanya..
Tedi: semua yang berharga yang gue punya udah hilang bro. Lo kalo mau bunuh gue, bunuh aja gpp.
Santoso: lah..(langsung sadar dari maboknya) gue yang minum lo yang mabok. Sarap lo men. Mati sebelum                                
                 nikah itu gak enak tau.
Haikal: Ah..bener2 sarap nih orang men. Udah kita cabut aja. Salah malakin orang kita men.
Santoso: lo sih gak liat-liat dulu.
Haikal: lo tuh yang salah. Mabok aja kerjaan lo.
Tedi merenung Seorang diri dipinggir pantai yang berpasir. Muncullah bisikan bisikan aneh di kedua telinga.
Dimas: gak ada gunanya kamu terus bersedih. Life must go on brother.
Aldi: itu gak benar. Lo itu udah habis men. Lo udah dibohongin begitu saja. Gak lo pikir betapa bodohnya diri
         Lo itu.
Dimas: jangan dengerin dia. Lo masii bisa dapetin yang lebih dari dia. Lebih cantik, lebih semok, lebih semua
             Semuanya dah. Semangat dong.
Aldi: gak men. Lo udah gak ada harga men. Lebih baik lo bunuh diri aja. Ceburin diri lo ke laut.
         Lo bener bener udah habisss men..
Dimas: think again brother. Lo masii bisa melakukan hal2 yang positif selain hal bodoh itu.
Aldi: lo udah habis men.
Dimas: blom men. Lo blom habis.
Aldi. Udah..
Dimas. Belom.
Aldi: udah..
Dimas: Belom..
Tedi: ahhhhhh... berisik banget sih lo bedua. (memukul Aldi dan Dimas)
Aldi: Perasaan kok bisa sakit ya. Dia kan manusia.
Dimas: iyaa ya.. Bingung gue.
Aldi: mending cabut aja dah. Ngeri gue sama nih orang.
Dimas: setubuh gue sama lo.
Aldi: najiss banget gue. :p
Dimas: Preeeett..
Gak lama muncul Shely dari belakang menemui Tedi
Shely: Tedi.. gue minta maaf sama lo. Gue gak jujur dari awal sama lo.
            Awalnya gue Cuma mau maen2 doang. Dan tapi akhirnya gue bener2 sayang sama lo.
          Gue nyaman sama lo Ted. Plisss maafin gue
Tedi: lebih baik lo balik aja ke pacar lo yg keren itu. Imam..
          Lo gak pantes sama gue.
Shely: gue udah putus sama Imam. Barusan gue mutusin dia karena dia selingkuh sama cewek lain.
          Ternyata dia kesini bareng pacar barunya.
          Gue gak apa apa. Karna gue emang gak cinta sama dia. Akhirnya gue tau kalo gue cintanya sama lo.
Tedi mulai melirik dan tertarik. Ternyata selama ini cinta nya tidak bertepuk sebelah tangan.
Cie.. cie.. cie...
Tedi: lo serius?
Shely: iyaa gue serius..
Tedi: alhamdulillah... gue juga sayang sama lo shel..  
          I love you..... Te amo..... Ich liebe dich.... Wo ai ni....

Happy Ending guys.. Tedi dan Shely akhirnya jadian.
Sela dan Kiki berhasil 1000% combalingin mereka berdua.. JJJJJ


Kamis, 16 Oktober 2014

FREEMASONRY

Menurut legenda ritual Freemasonry, persaudaraan Mason telah ada sejak pembangunan kuil Raja Sulaiman ratusan abad silam. Karena kuil yang dikerjakan sangat besar, sehingga diperlukan adanya suatu bentuk pengorganisasian kerja yang baik untuk memastikan pembangunan kuil selesai tepat pada waktunya

Keadaan ini mendorong perkembangan organisasi pekerja stonemason dan arsitek ke dalam berbagai tingkatan dan kelas dengan tanggung jawab yang berbeda-beda.
Banyak karakter yang diungkap dalam buku Kings and Chronicles dalam Kitab Yahudi sesuai dengan kondisi-kondisi yang ada di berbagai tingkatan organisasi Masonry, misalnya Raja Sulaiman, Hiram (Raja Tyre yang mensuplai bahan material, terutama kayu cedar, untuk pembangunan kuil), Adoniram, dsb.
Meskipun persaudaraan Masonic melakukan ritual-ritual zaman Raja Sulaiman, agar dapat menjadi sebuah kebenaran sejarah, tetapi tidak ada otoritas Masonic yang memberikan kebenaran tentang adanya organisasi Mason di masa lampau.
Yang sudah diketahui dengan pasti adalah ada sebuah organisasi persaudaraan di masa lampau, baik diantara kaum pagan maupun kaum Yahudi. Dan kasus yang lebih dahulu muncul adalah organisasi tersebut dikait-kaitkan dengan adanya kerahasiaan, seperti halnya misteri Eleusinian yang sangat terkenal. Contoh misteri yang mengemuka lainnya adalah adanya kelompok rahasia yang bernama Pharisees.
Eleusinian adalah sebuah komunitas rahasia yang mempunyai ritual-ritual inisiasi, pembagian divisi yang lebih kecil dengan sifat kerahasiaan yang semakin besar, ujian-ujian yang harus dihadapi sebelum memperoleh pengetahuan dan rahasia yang harus dijaga. Rahasia komunitas ini tetap terjaga dengan baik dari waktu ke waktu dan yang mengetahui hanyalah mereka saja. Mungkin pengetahuan tentang sifat komunitas ini jatuh ke tangan para pendiri Mason dan pada akhirnya membentuk struktur organisasi Mason seperti sekarang ini.
Berbeda dengan Eleusinian, kelompok Pharisees tidak menyembunyikan pengetahuan apapun. Akan tetapi, mereka melakukan pembatasan keanggotaan dan memanggil sesamanya dengan sebutan “chaver” (kha VER), konsep yang sama dengan penggunaan sebutan “saudara” atau “kawan” pada organisasi Mason sekarang. Setiap anggota baru diminta untuk bersumpah dan mematuhi perintah dan hukum organisasi dengan disaksikan oleh tiga anggota lainnya.
Pharisees dianggap memiliki ajaran yang berbeda oleh para pengikut Yudaism maupun Kristen. Di kemudian hari, istilah Pharisee memiliki konotasi negatif, yang hampir sama dengan kaum hipokrit. Bagi kaum Yahudi, struktur Pharisaic secara esensi telah muncul dalam ajaran Yudaism 2000 tahun yang lalu. Pharisees dipandang sebagai sebuah kelompok yang berupaya memadamkan peran agama di mana puncaknya adalah penghancuran kuil di Yerusalem.
Pengetahuan mengenai praktik-praktik Pharisaic mungkin sudah diketahui oleh para pendiri Mason. Mereka juga memandang bahwa hanya ada satu cara efektif untuk mengorganisasi sebuah persaudaraan dengan baik, dan cara tersebut telah ditemukan secara terus menerus, independen, dan selalu berulang.
Periode Pertengahan
Teori munculnya Freemasonry yang juga cukup umum adalah berasal dari serikat pekerja atau gilda stonemason pada abad pertengahan. Istilah “Free” mengindikasikan bahwa Mason tidak terikat dengan tanah sebagai budak, tetapi mereka adalah orang-orang bebas pergi kemanapun, seperti hal seorang pedagang yang selalu membangun di manapun ia berada.
Mason di abad pertengahan selalu mendirikan berbagai bangunan, tetapi perhatian khusus selalu dipusatkan pada katedral-katedral besar yang dibangun selama periode ini. Untuk menciptakan sebuah konstruksi bangunan yang mengaggumkan, diperlukan pendidikan prinsip-prinsip geometri, aritmatika, maupun teknik sipil. Gilda stonemason, dan para arsitek pada masa itu menjadi sebuah semacam pusat penyimpanan pengetahuan di luar unsur paling dominan yang ada di masyarakat: pendeta.
Seiring dengan gelombang maraknya pembangunan katedral dan permulaan masa-masa renaisans, diperkirakan Freemason tetap menjaga organisasi mereka dengan membuka keanggotaan untuk forum diskusi filosofis serta pengetahuan lain. Anggota tersebut merupakan orang-orang tertentu yang berada di kelas atas dan bukan pekerja itu sendiri.
Ada teori lain tentang kemunculan Freemasonry pada abad pertengahan. John Robinson penulis buku Born on Blood mengatakan bahwa para Mason adalah keturunan dari ksatria templar. Templar adalah sekelompok ksatria yang memiliki kekuatan dan kesejahteraan semasa Perang Salib. Setelah Perang Salib selesai, pada abad ke-14, mereka ditekan oleh Raja Perancis dan kalangan gereja. Sebagian besar para templar menemui ajalnya, dan ada juga sebagian dari mereka yang mampu bertahan. Beberapa tingkatan dalam Mason berkaitan dengan kejadian ini. Hipotesis yang kemudian muncul adalah bekas para templar tersebut mempertahankan persaudaraan mereka dengan melakukan penyamaran dalam bentuk Freemasonry.
Teori-teori mutakhir yang melacak asal-muasal Masonry justru tidak mengarah pada gilda stonemason seperti yang diungkapkan sebelumnya, melainkan lebih kepada akibat dari konflik yang ada Inggris pada abad ke 17. Cyril Batham, salah seorang Quatuor Coronati Research Lodge yang cukup terkenal di Inggris, mengungkapkan bahwa orang-orang ini mendirikan Lodge untuk menjaga komunikasi ketika bersembunyi dari kejaran kaum Anglikan semasa pergolakan Jacobite.
Periode Modern

Di era modern, Freemasonry muncul sejak didirikannya Grand Lodge pertama pada St. John’s Day, di London pada tahun 1717. Empat lodge lama berkumpul bersama di Goose dan Gridiron Ale House untuk mengorganisasi pendirian Grand Lodge.
Dari waktu ke waktu organisasi-organisasi free-thinker seperti Masonry ini semakin matang untuk melebarkan sayapnya di dunia Barat. Masa-masa pencerahan di benua ini dimulai ketika Inggris sedang bertransisi menjadi sebuah negara liberal yang ditandai dengan penolakan konsep “hak agung” monarki James II. Organisasi Masonry menyebar dengan cepat ke kawasan lainnya seperti Perancis, Austria-Hungaria, dan Jerman.
Lodge kuno dan modern yang berada di Inggris, pada tahun 1813, kemudian bergabung menjadi sebuah organisasi tunggal yang bernama United Grand Lodge of England. Ketika itu, kedua organisasi Mason membuat piagam tentang Tata Dunia Baru. Fakta ini menjadi dasar adanya keragaman ritual Mason di daratan Amerika, meskipun sifat ritual yang asli tidak dapat dilihat dari konsep keanggotan Grand Lodge semata, yakni sebagai “Ancient Free and Accepted Masons” atau hanya “Free and Accepted Masons”.
Lodge pertama di AS didirikan sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam piagam Grand Lodges di Inggris. Dalam perjalanannya, Lodge-lodge di daerah koloni merasa perlu untuk membentuk Lodge yang baru dan dapat mengorganisasi Grand Lodge (berada di provinsi semasa masa koloni) mereka sendiri.
Grand Lodge independen pertama di Amerika dibentuk sebagai hasil pertemuan empat Lodge di Virginia. Seperti apa yang telah diamanatkan oleh Grand Lodge yang berada di masing-masing negara bagian, konsep ritualnya merupakan perpaduan dari Grand Lodge-Grand Lodge yang ada. Pada tahun 1995, sudah berdiri Grand Lodge di 50 negara bagian AS, dan 1 di distrik Columbia. Ada perkembangan yang cukup pesat pada organisasi ini, seperti misalnya Grand Lodge di California memiliki yurisdiksi atas Lodge di Hawaii.
Masonry memainkan peranan penting di masa-masa awal sejarah kemerdekaan AS. Banyak pendiri negara AS adalah Mason (1/3 dari penandatangan Deklarasi Kemerdekaan AS dan 1/3 yang menghadiri Consitution Convention di Philadelphia tahun 1787 adalah para Mason), termasuk Benjamin Franklin dan George Washington. Disinyalir, Boston Tea Party semasa kemerdekaan AS juga turut di organisasi dalam salah satu pertemuan Lodge. Pada peristiwa itu, sekelompok orang yang memakai atribut Indian menumpahkan teh di pelabuhan Boston diduga adalah Mason. Ada juga cerita bahwa pasukan Inggris menjaga properto-properti miliki Mason Amerika ketika revolusi berkobar untuk kemudian diserahkan kepada otoritas Masonic lokal setelah perang selesai.
Perkembangan Masonry Amerika mengalami kemunduran pada tahun 1820, ketika sentimen Antimasonic mencapai puncaknya yang ditandai dengan dimunculkannya kandidat presiden sebagai oposisi Lodge. Pada masa itu, banyak badan-badan yang berada di bawah naungan Lodge tidak eksis lagi. Kekacauan itu terjadi karena Mason dituduh melakukan eksekusi kepada mereka yang dianggap berkhianat karena membuka rahasia persaudaraan Lodge di New York.
Ketika Perang Sipil di AS berkecamuk, Mason berada di dua sisi. Anggota Lodge yang turun dalam peperangan menggunakan seragam dengan warna yang berbeda. Tahanan perang yang merupakan anggota Mason diminta untuk datang ke Lodge untuk mendapatkan pembebasan bersyarat dan menghadiri pemakaman prajurit Masonic yang gugur.
Peran Masonry dalam aspek kehidupan sosial AS di akhir abad 19 dan awal abad 20 cukup penting. Banyak tokoh-tokoh terkemuka di masyarakat adalah anggota Lodge. Organisasi persaudaraan yang juga muncul untuk bersaing dengan Mason antara lain, Grange, Elks, Moose, dan Odd Fellows. Kegiatan amal Masonic mampu menyokong kehidupan sosial masyarakat di masa-masa sulit, dan kegiatan itu ada jauh sebelum dibuatnya program jaring pengaman sosial pada tahun 1930.
Keanggotaan dalam persaudaraan Masonic mencapai puncaknya pada akhir tahun 1950, dan setelah masa itu, mengalami penurunan. Fenomena yang sama juga terjadi pada berbagai organisasi persaudaraan lain, seperti di berbagai klub bisnis, gereja, dsb. Penurunan itu disebabkan meningkatnya berbagai sarana hiburan di rumah secara massal, tuntutan pekerjaan yang semakin besar, dan sebab-sebab lainnya. Tidak seorang pun yang tahu bagaimana cara mengubah kemunduran itu, akan tetapi peran Lodge dalam struktur sosial di berbagai perkotaan sepertinya akan terus surut dan bisa berubah hanya apabila seluruh struktur sosial masyarakat AS berubah menjadi tipe masyarakat yang berorientasi keluar (outward oriented). Survey memperlihatkan bahwa saat ini banyak orang Amerika yang tidak lagi peduli pada eksistensi persaudaraan Masonic. Padahal, lebih dari 50 tahun yang lalu, ketidakpedulian terhadap keberadaan Lodge hanyalah sebuah impian.

KISAH HANS JOACHIM-MARSEILLE DI GURUN AFRIKA

Kisah ini saya dapatkan di buku “German Fighter Ace Hans-Joachim Marseille: The Life Story of the Star of Africa” karya Franz Kurowski, dan begitu menariknya sehingga sayang kalau tidak dicantumkan dalam blog ini. Inilah dia:
Tanggal 21 April 1941 Gruppenkomandeur dari I./Jagdgeschwader 27, Hauptmann Eduard “Edu” Neumann tiba di Gazala, Libya, setelah ditugaskan untuk membantu pasukan Afrikakorps-nya Rommel dalam melawan Sekutu. Tak lama setelah dia, tiba pula 2/JG 27. Tapi dimanakah Staffel 3 pimpinan Oberleutnant Gerhard Homuth?
Unit ini telah melakukan pendaratan sementara di pangkalan 7/JG 26 pimpinan Oberleutnant Joachim Müncheberg di Gela, Sisilia. Dari sana mereka melanjutkan penerbangannya melintasi lautan Mediterania dengan tujuan Castel Benito. Mereka akhirnya mencapai landasan yang dituju, tapi sesaat sebelum pesawat-pesawat 3/JG 27 menyentuh daratan di “Landasan Kalajengking” (dimana seharusnya mereka telah ditunggu oleh tim pengisi bensin yang akan mengisi bahan-bakar untuk pesawat mereka), mereka menyadari bahwa tempat itu tampaknya tidak ditinggali oleh siapapun. Bahkan tembakan senapan mesin yang ditembakkan pesawat ke tanah di dekat beberapa tenda yang terdapat disana tidak juga “mengundang” orang-orang untuk keluar! Karena bahan-bakar sudah menipis, mau tidak mau staffel Homuth mendarat juga, dan memang landasan itu sudah kosong melompong tanpa ada jejak awak darat satu pun. Seorang pilot harus dikirim balik ke Sirte untuk meminta pertolongan!
Oberleutnant Homuth memilih Oberfähnrich Hans-Joachim Marseille (yang saat itu belum terkenal dan masih menjadi pilot tempur ‘biasa’). Sementara tujuh pilot lainnya beristirahat sambil menunggu di tenda-tenda yang sama sekali tidak nyaman untuk ditinggali, Marseille pun pergi.
Ketika sampai fajar keesokan harinya masih tidak terdapat tanda-tanda kehidupan, tujuh Messerschmitt Bf 109 dari 3/JG 27 memutuskan untuk kembali ke En Nofilia yang letaknya di arah barat sejauh 35 kilometer dari situ. Dari sini Oberfeldwebel Kowalski dikirimkan ke Sirte dengan membawa sedikit cadangan bahan-bakar yang masih tersisa.
Tak lama selepas siang, sebuah pesawat bermesin ganda tiba dan menjatuhkan sebuah kapsul pesan. Kapsul ini langsung dibawa ke Oberleutnant Homuth. Di dalamnya berisi berita bahwa Oberfeldwebel Kowalski telah melakukan pendaratan darurat sesaat sebelum tiba di Sirte karena pesawatnya sudah kehabisan bahan-bakar. Catatan ini juga menyebutkan bahwa Marseille dan pesawatnya sama-sama mendarat darurat di jalan yang menuju kesana karena masalah pada mesin.
Beberapa jam kemudian Marseille tiba dengan menumpang sebuah truk kargo yang membawa kontainer berisi air dan persediaan suplai lainnya. Dia melapor kepada sang Staffelkapitän bahwa sebentar lagi truk bahan bakar akan menyusul tiba.
Ketika truk yang dinanti-nanti akhirnya tiba, semua pesawat diisi bahan-bakar dari container truk dengan menggunakan pompa tangan. Tak lama kemudian semua pesawat berangkat menuju ke tempat tujuan mereka yang terakhir. Tapi tanpa Marseille. Ketika dia bertanya apa yang harus dia lakukan, Homuth menjawabnya:
“Kamu telah merusakkan pesawatmu, sekarang cari cara sendiri agar bisa menuju ke front.”
Staffel 3 tiba di Gazala pada tengah hari tanggal 22 April 1941. Tapi apa yang terjadi pada tokoh kita Marseille?
Seperti telah disebutkan sebelumnya, Oberfähnrich Marseille telah ditugaskan untuk menuju Sirte. Dia menerbangkan sebuah pesawat Messerschmitt Bf 109 dengan nomor “13” dalam warna kuning dicat di pinggirannya – nomor yang tidak menjadi masalah bagi Marseille… setidaknya pada awalnya.
Tiba-tiba dia menyadari bahwa tekanan oli pesawatnya menurun dengan drastis. Jarum RPM jatuh dan BF 109 pun mulai kehilangan ketinggian. Pesawat ini tampaknya semacam “pemakan mesin” yang mendatangkan masalah tak henti-hentinya. Mesinnya batuk-batuk dan ‘meludah’, sementara asap kini memenuhi kokpit. Marseille mendorong joystick ke bawah dan merapatkan ikatan parasutnya. Daratan pasir yang gersang mulai datang menyambutnya. Beberapa belas meter dari tanah dan Marseille memotong katup penutup sambil mematikan tombol starter. Ini adalah cara yang diketahui semua pilot demi memperbesar peluang selamat dari situasi semacam ini. Mesin pun mati.
Sepuluh meter sebelum pesawat menyentuh tanah. Daratannya sendiri tidak cocok untuk dijadikan tempat mendarat, tapi kemudian Marseille melihat di sebelahnya terdapat tanah datar yang sempit. Tak cukup untuk pendaratan yang normal sebenarnya. Lima meter lagi, dan kemudian terjadi getaran hebat. Lapisan besi yang menempel di pesawat seakan mengerang dan berderak dengan kuat saat bertemu dengan batu-batu dan kerikil.
Hidung Bf 109 seakan membentuk gelombang saat pesawat meloncat-loncat kecil sebelum akhirnya melambat, berguncang sekali lagi, dan diam. Pesawat Marseille kini terselibungi debu tebal.
Jochen Marseille membuka kanopi dan melepaskan sabuknya. Dia merangkak keluar dari pesawatnya, berhenti untuk beberapa saat di bagian sayap, dan kemudian loncat ke darat. Kakinya tenggelam dalam tanah lunak yang berpasir.
Dia kini telah mendarat di daratan Afrika… walaupun secara darurat. Dia lalu berjalan ke salah satu kelompok rerumputan tinggi yang banyak bertebaran secara sporadis di sekitar jalan.
Mesin pesawatnya masih batuk-batuk. Marseille tidak mempedulikannya. Ia duduk di balik bayangan rerumputan, mengeluarkan rokoknya dan menyalakannya. Meskipun ini bukanlah sesuatu yang diinginkannya, tapi yang jelas satu pesawat lagi telah dirusakkannya. Setelah “prestasi” empat pendaratan darurat di masa sebelumnya, maka ini adalah yang keempat! Kali ini dia merasa bahwa dia tidak akan lolos begitu saja, terutama sejak dia tahu bahwa sang Staffelkapitän akan melihatnya murni sebagai kesalahan Marseille. Setelah dia menyelesaikan sebatang rokok, Marseille kembali ke pesawatnya, melepaskan parasut, mengambil barang-barang yang paling berharga (termasuk logbook), dan kemudian melangkah menyusuri jalan.
Beruntung bagi dia, karena tak lama datang sebuah truk kargo Italia dengan tujuan Sirte yang kemudian berhenti di depannya. Sang supir menyeringai ramah lalu memberi isyarat dengan tangan untuk duduk di sebelahnya. Ketika Marseille masuk, ia langsung ‘disergap’ oleh suhu panas yang menyiksa. Setelah tiba di Sirte, Marseille menerangkan dengan bahasa Tarzan bahwa dia harus pergi ke Kommandeur yang berkepentingan dan minta diantar kesana. Beberapa menit kemudian dia telah berdiri di depan markas korps intendan dan melapor bahwa Staffelnya sedang dalam perjalanan ke Benghazi ketika mereka mendarat di lapangan terbang Kalajengking tanpa mendapati tim bahan-bakar yang seharusnya ada disana. Sekarang mereka sangat membutuhkan bensin untuk pesawat-pesawat mereka.
“Anda dapat mendapatkan bahan-bakar tersebut, hanya saja truk tangkinya sekarang sedang diisi dulu. Tunggu saja sebentar,” jawab sang intendan.
Sebelum truknya berangkat, Oberfeldwebel Kowalski tiba di Sirte dan melaporkan bahwa Staffel 3 telah melanjutkan perjalanan ke En Nofilia sehingga semua perbekalan harus dibawa kesana. Seperti telah disebutkan sebelumnya, Kowalski pun harus melakukan pendaratan darurat seperti halnya Marseille.
Marseille akhirnya berangkat dengan truk pertama yang membawa air minum serta perbekalan, sementara Kowalski mengikuti di belakangnya dengan truk kedua yang membawa bahan-bakar.
Kini setelah Homuth memerintahkan Marseille untuk berangkat tanpa pesawat, dia terpaksa ditinggalkan di En Nofilia, sementara staffel-nya berangkat ke Gazala – yang akhirnya mereka capai tanggal 22 April 1941 setelah sebelumnya sekali lagi melakukan pendaratan sementara. Sementara itu, Marseille mendapat kabar bahwa sebuah konvoy transport Italia akan melintasi jalan di hadapannya dalam waktu satu jam. Dia langsung mengemasi barang bawaannya, berangkat menuju jalan sambil bersiap diri terhadap apa pun yang akan terjadi. Ketika akhirnya debu mulai Nampak dan konvoy itu tiba, Marseille mendapati bahwa itu memang orang-orang Italia.
Kendaraan pertama menepi ke pinggir dan berhenti. Sebelum Marseille ngoceh kembali dengan bahasa Tarzannya, sang supir yang berbadan kecil turun dari belakang kemudi, mengambil tas Marseille dan melemparkannya ke truk. Marseille pun akhirnya naik dan mendapati dengan gembira bahwa sang supir adalah seorang Letnan muda Italia yang sedikit-sedikit bisa berbahasa Jerman, walaupun acak-acakan. Tapi ini setidaknya cukup untuk mereka berdua agar bisa mengerti satu sama lain.
Ketika Marseille bertanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai ke Gazala karena dia diharapkan kedatangannya besok siang, si Italia langsung tertawa terbahak-bahak!
“Doppo domani – satu hari setelah besok (lusa),” katanya. “Paling cepat.”
“Tapi aku harus ada di Gazala besok!”
Pada titik ini bahkan si supir menggerakkan lengannya dengan ragu-ragu, yang memberi pesan kepada Marseille bahwa si pilot Jerman dengan Eisernes Kreuz di jaketnya itu meminta sesuatu yang mustahil.
Setelah waktu maghrib tiba, Marseille melihat sebuah pemandangan yang luar biasa, yang semakin jelas seiring dengan lajunya kendaraan. Dia menoleh kepada teman seperjalanannya, dengan mimik yang meminta penjelasan. Si supir mengerti. Dia berkata:
“Arco Philaenorum – Gerbang Kemenangan!”
“Ora ngerti wadon bae, maksudnya? Tanya si Jerman, yang terkejut bahwa di tengah padang pasir tandus yang jauh dari mana-mana seperti disini, terdapat sebuah bangunan monumen yang fenomenal seperti yang tampak di hadapannya! Marseille kemudian sedikit demi sedikit mengerti apa yang dikatakan si supir Italia:
“Kami menyebutnya Arco dei Fileni, yang merupakan peringatan bagi Fileni bersaudara, yang gambarnya bisa anda lihat di bagian atap monumen persis di atas lengkungan. Monumen ini didirikan untuk mengenang mereka. Orang-orang Kartago telah membangun sebuah pelabuhan di dekat kota masa Yunani klasik bernama Antomala – sekarang dinamakan Mugtáa el Chebrit. Perang yang panjang dan berdarah-darah antara Yunani dan Kartago kemudian terjadi karena kedua pihak memperebutkan pelabuhan yang strategis ini. Hanya di sekitar tahun 350 sebelum masehi, Yunani dan Kartago mencapai suatu persetujuan.”
“Kartago dan Cirene diharuskan mengirim dua orang pelari masing-masing. Perbatasan antara kedua negara adalah tempat dimana kedua pasang pelari tersebut bertemu.”
“Sebagai pelari dari pihaknya, Kartago memilih Fileni bersaudara, yang terkenal sebagai olahragawan terpandang di masa itu. Tapi Cirene juga telah memilih pelarinya yang terbaik. Sayangnya, pelari dari Cirene terhadang oleh badai dan hujan di tengah perjalanan, sehingga pelari Kartago mampu melewati perbatasan lama dan akhirnya bertemu dengan pelari Cirene di tempat ini, yang kemudian menjadi perbatasan baru.”
“Sebagai pihak yang kalah, Cirene mengatakan kepada Kartago bahwa mereka akan mengakui perbatasan baru hanya bila kedua Fileni bersaudara bersedia untuk dikuburkan hidup-hidup! Ini tentu saja membuat berang pihak Kartago. Tapi dahsyatnya, Fileni bersaudara mengatakan bahwa mereka bersedia untuk melakukannya. Mereka akhirnya dikorbankan demi mempertahankan perbatasan baru ini, dan disinilah mereka dikuburkan, di tempat dimana sekarang berdiri Arco Philaenorum – atau Arco dei Fileni untuk orang-orang Italia. Tempat ini akhirnya menjadi perbatasan abadi antara Kartago dan Cirene yang bertahan sepanjang masa.”
Jochen Marseille mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah sang Tenente menyelesaikan ceritanya, Marseille nyeletuk:
“Tapi gerbang ini tampak seperti baru dibuat!”
“Kamu benar,” jawab si Letnan. “Marsekal Udara (Italo) Balbo telah memerintahkan pembangunan gerbang ini, tepat di tempat dimana Fileni bersaudara dikuburkan. Gerbang ini sekarang memisahkan antara Tripolitania dengan Cyrenaica.”
Ketika mereka mencapai salah satu lapangan udara di sepanjang Via Balbia, hari telah beranjak malam. Marseille mengucapkan selamat tinggal kepada kamerad Italianya, lalu membawa barang bawaan sambil berjalan ke tempat operasi udara. Disana dia tahu dari Feldwebel yang sedang bertugas bahwa dia tidak bisa terbang ke Derna esok hari.
“Aku tidak mendapat perintah untuk terbang kesana. Aku khawatir anda bisa nyungseb disini berhari-hari, temanku. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan nebeng di truk kargo.”
“Bila aku melakukannya, aku baru bisa tiba di Gazala lusa. Aku harus berada disana esok siang.”
“Mungkin anda bisa mendapatkan mobil untuk keperluan anda,” tawar sang Feldwebel. “Coba cari di tempat perbekalan dan tanyakan kepada perwira yang sedang bertugas.” Marseille langsung mengambil tasnya dan berjalan melintasi rerongsokan yang terdapat di sekitar landasan kearah yang ditunjukkan oleh si Feldwebel.
Keadaan telah begitu gelapnya, tapi seorang penjaga menunjukkan tenda yang dia tuju. Marseille masuk, dan setelah basa-basi sebentar sambil memperlihatkan kartu identitasnya, dia meminta sebuah mobil yang akan digunakannya untuk melakukan perjalanan ke Derna.
“Saya adalah pemimpin Schwarm dan besok saya harus tinggal landas dari Gazala,” dia berkata dengan terburu-buru.
“Saya mengerti,” kata si Hauptmann yang sedang bertugas jaga. Dia adalah orang tua baik hati yang tampaknya adalah seorang veteran Perang Dunia I, yang tampak dari kedua Eisernes Kreuz Spange yang menempel di seragamnya. “Tapi saya tak dapat menolongmu dalam masalah ini. Mungkin jenderal akan berbaik hati meminjamkan mobilnya.”
Seringai lebar yang tampak dari wajah si Hauptmann menyiratkan bahwa dia Cuma bercanda. Tapi Marseille kemudian memintanya untuk mempertemukannya dengan jenderal dimaksud!
10 menit kemudian Oberfähnrich Marseille melaporkan diri pada jenderal Hellmann dan menceritakan tentang kesialannya. Sebagai penutup, dia mengatakan, “Saya harus pulang kembali ke Staffel saya besok. Bila saya tidak kembali maka Schwarm saya tak bisa tinggal landas.” Schwarm yang dia pimpin terdiri dari dua Rotten dengan dua pesawat masing-masing.
Disinilah terjadi sesuatu yang tidak biasa, seperti yang kadang terjadi di tempat lain dan di waktu yang lain. Bukannya kemudian memperlihatkan kepada sang Oberfähnrich yang congkak dan tidak sabaran ini letak pintu keluar, Jenderal Hellmann malah tampaknya terpesona dan gembira bisa bertemu dengan seorang perwira rendah muda yang berani seperti Marseille. Matanya tidak luput dari melihat medali Eisernes Kreuz I klasse yang menempel di saku Marseille, yang membuktikan bahwa pilot satu ini mempunyai skill yang cukup bisa diandalkan.
“Kalau begitu, terlebih dahulu ceritakan sebentar pengalamanmu selama di Channel,” sang jenderal meminta Oberfähnrich Marseille untuk duduk.
Dengan senang hati Marseille menuruti permintaan sang jenderal. Dia menceritakan tentang kemenangan-kemenangan udara yang telah dibukukannya, juga tentang bagaimana tiga kali pesawatnya hampir nyuksruk ke laut, dan satu kali benar-benar melakukannya. Ketika ceritanya berakhir, sang jenderal mengangguk. “Kamu akan mendapat mobil yang kamu minta. Tapi pertama-tama kamu harus ikut makan malam denganku.” Dia lalu memanggil si Hauptmann yang tadi dan menanyakan mobil yang mana yang siap dikendarai. Dua buah Volkswagen dan mobil pribadi si jenderal sendiri yang dinamakan “Admiral” tersedia saat itu.
Jenderal Hellmann kembali mengarahkan omongannya pada Marseille. “Besok subuh saat matahari mulai nampak kau dapat pergi menggunakan mobilku. Atau mungkin kau ingin berangkat sekarang? Saat ini bulan sedang bersinar penuh, dan setelah pukul 11 malam maka keadaan akan cukup terang, hampir-hampir seperti siang.”
“Bila mungkin, saya ingin berangkat saat ini juga, Herr Jenderal,” jawab Marseille.
“Baiklah kalau begitu! Bawa mobilnya kesini, dan lihat apakah bensinnya sudah diisi,” perintah Hellmann kepada si Hauptmann.
“Dan kau, Marseille. Aku tidak meminjamkan mobil ini secara cuma-Cuma. Sekarang kamu harus membukukan 50 kemenangan lagi untuk membalas kebaikan yang kuberikan kepadamu. Aku harap dapat mendengar kabar darimu dalam masalah ini, semoga dalam waktu yang tidak lama lagi.”
“Jawohl, Herr General!” Jawab Marseille dengan lega.
Tak lama setelah menaiki mobil lux kepunyaan sang jenderal, Marseille dan supir pribadi Hellmann langsung melesat melintasi jalan beraspal Via Balbia kearah tujuan mereka. Si supir adalah Unteroffizier Schultze yang juga berasal dari Berlin seperti halnya Marseille, dan tak lama suatu ikatan timbul di antara kedua orang muda ini.
Sepanjang perjalanan, Schultze ngoceh tentang bagaimana dinginnya cuaca di Afrika saat minggu-minggu pertama dia tiba disini, tentang Rommel dan Major Irnfried von Wechmar, yang memimpin sebuah Aufklärungsabteilung (AA 3) dan sekarang dipanggil semua orang dengan julukan “Lord of the Tarmac”. Dia bercerita tentang pengalaman mengalami serangan badai pasir pertama, tentang lalat yang minta ampun banyaknya, tentang kopi asin dan hal-hal lainnya. Sebagai penutup, dia mengatakan:
“Kamu dan teman-temanmu yang terbang di angkasa tampaknya bernasib lebih baik dibandingkan dengan kami. Selalu bernafas di tengah udara yang segar dan jauh dari debu dan kotoran.”
“Ya, memang benar. Tapi seringkali udara dipenuhi dengan lapisan timah,” jawab Jochen.
“Hahahaha… benul eh betul! Makanya aku lebih senang disini, nempel di atas tanah dengan mobilku.”
Agedabia telah terlewati lama sebelumnya. Beberapa rumah terlintasi, baik di kiri maupun di kanan. Sekali mereka sempat tersesat setelah mengikuti jejak sebuah konvoy yang kemudian menghilang. Untungnya Schultze kemudian menyadari kesalahannya dan kembali ke jalur yang benar. Mereka berbalik dan tiba di Benghazi tanggal 22 April 1941 jam 2 pagi. Jalan yang ada di kota ini bagaikan jalan-jalan indah di Eropa, dengan pohon berjajar di sepanjang boulevard. Tapi sang Unteroffizier tidak dapat menikmati keindahan ini karena sekarang dia tertidur pulas, dan Jochen Marseille yang gantian berada di belakang kemudi.
Di wilayah Tocra, Littoranea (bahasa Italia untuk menyebut jalanan pinggir pantai) mulai menanjak dan mengarahkan mereka ke bagian pinggiran Djebel Achcar. Unteroffizier Schultze kembali menjadi supir karena dia sudah biasa dengan jalanan sulit seperti ini. Bagaimana dengan Marseille? Kini bagian dia yang molor!
Ketika si Oberfähnrich terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Jalan pinggir pantai kini menembus bukit-bukit kapur. Mereka melintasi pemandangan yang menawarkan keindahan liar yang romantis, melintasi desa-desa yang dihuni oleh pemukim-pemukim Italia dengan rumah mereka yang dihiasi pohon-pohon tropis dan tanaman lainnya. Disinilah tempat perkebunan Cyrenaica – yang berkembang melalui proyek-proyek irigasi Italia: Gasr el Elua, Sidi Agd el Uahed, Zauia el Beda dan Beda Littoria. Dekat Luigi Raza mereka melintasi sebuah hutan kecil yang ditumbuhi pohon-pohon ek. Kebanyakan pemukiman disini sudah ditinggalkan oleh penghuninya, orang-orang Italia yang mengungsi bersama dengan keluarganya saat Inggris mendesak pasukan Mussolini bulan Desember 1940, hampir satu tahun sebelumnya.
Ketika mereka mencapai lapangan udara Derna, hari telah beranjak siang. Disini mereka berhenti sebentar untuk mengisi bahan baker. Marseille juga menggunakan waktunya untuk mengambil gajinya dari petugas pembayaran di landasan.
Ketika si petugas bersiap untuk menambahkan catatan baru di buku pembayaran Marseille, dia membukanya di halaman yang terdapat catatan penganugerahan Eisernes Kreuz. “Tolong, jangan di halaman itu,” pinta sang Oberfähnrich kepada petugas pembayaran.
“Apakah kamu pikir kamu dapat mendapat lebih dari Eisernes Kreuz yang ada disini?” dia bertanya.
“Tentu saja,” Marseille menjawab. Si petugas pembayaran nurut dan menuliskan catatan pembayaran di halaman lainnya.
Mereka kini berangkat menuju dataran tinggi Cyrenaica, yang ditandai dengan jalan berkelok-kelok bagaikan ular yang seakan tidak berakhir dan dipenuhi oleh debu tebal, yang mengarah ke Celah Halfaya. Di kiri kanan jalan, mereka menjumpai sisa-sisa kendaraan perang, tank dan truk, yang teronggok dan merupakan sisa dari pertempuran yang terjadi tak lama sebelumnya. Beberapa di antaranya telah dijatuhkan ke jurang atau selokan oleh petugas pembersihan demi menjaga jalan tetap bisa dilintasi.
Petugas yang sama kini terlihat sedang memperbaiki jalan, dan menambal lubang-lubang bekas ledakan. Ketika mereka mencapai salah satu belokan dan dapat melayangkan pandangan ke Derna, mereka melihat 12 buah Junkers Ju 87 dari StG 3 baru saja tinggal landas untuk melaksanakan misi tempur. Dengan meninggalkan 12 buah kabut berwarna kuning kemerah-merahan di belakangnya, mereka terbang ke udara dan menghilang dari pandangan Marseille.
“Mereka berangkat ke Tobruk. Rommel menginginkan benteng kokoh ini bagaimanapun caranya, karena dia merupakan titik penting seluruh front,” jelas Unteroffizier Schultze.
Jam telah menunjukkan pukul 17.00 ketika Marseille akhirnya tiba di lapangan udara Gazala dan memarkirkan mobil “Admiral” kepunyaan jenderal Hellmann di depan markas Staffelnya. Dia meninggalkan Unteroffizier Schultze dan melapor kepada Oberleutnant Homuth.
Yang mengagumkan adalah, Marseille tiba disini hanya dua jam setelah Staffelnya datang! Homuth tampak gembira melihat pencapaian sang Oberfähnrich, meskipun tak ada kata-kata pujian yang keluar dari mulutnya. Marseille mendapat keterangan dari para kameradnya bahwa Staffel 2 telah tiba sehari sebelumnya, dan bersama dengan Staffel 3 yang baru saja datang, kini seluruh komponen Gruppe I dari Jagdgeschwader 27 telah sampai di lapangan udara Gazala.